Membahas
tentang sarung tenun, ternyata akan membuka wawasan kita, bahwa kain sarung
tidak terbatas pada konteks sebagaimana yang kita kenal sehari-hari yaitu
sebagai busana khas yang biasa digunakan umat muslim Indonesia baik untuk
sarana beribadah
di masjid maupun sebagai pakaian keseharian.
di masjid maupun sebagai pakaian keseharian.
Bangsa
Indonesia yang tersebar dari Sabang di ujung barat hingga Merauke diujung
timur, baik pria maupun wanita sejak dahulu kala memiliki tradisi berbusana
dengan memanfaatkan kain sebagai busana bawahan. Kain tersebut dibuat dengan
bahan, teknik menenun dan motif-motif sesuai tradisi budaya setempat. Cara
mengenakan kain tersebut sebagai busana bawahan itulah yang secara umum dapat
disebut sebagai sarung. Jika di Jawa, orang mengenal bagaimana membedakan kain
panjang sebagai sinjang (jarit) dengan sarung, maka di daerah lain di bumi
Nusantara ini istilah sarung juga dikenal sebagai salah satu cara mengenakan
kain bawahan baik untuk busana pria maupun wanita.
Kita,
bangsa Indonesia boleh jadi tidak bisa mengklaim sarung sebagai budaya yang
berasal dan menjadi milik bangsa Indonesia. Tetapi bangsa Indonesia memiliki
sarung khas yang dapat kita klaim dan kita akui sebagai milik bangsa Indonesia,
yakni apa yang dalam buku ini saya sebut sebagai “sarung Indonesia”.
Masing-masing wilayah dalam NKRI memiliki ciri tersendiri dalam hal sarung
tenun. Begitu beragamnya sehingga kita sendiri sering merasa tidak yakin,
apakah produk budaya itu akan dapat kita sebut sebagai “Sarung Tenun
Indonesia”? Mengapa tidak?
Sarung
sebagai salah satu produk tekstil dihasilkan melalui proses menenun. Hebatnya
Nusantara kita ini menyimpan berbagai macam budaya tenun yang serba eksotis.
Pada tahun 1985 di Jakarta, ketika diselenggarakan International and National
Craft Conference yang diikuti 12 negara, tenun ikat dari Pulau Sumba dipilih
sebagai karya tenunan terbaik serta mendapatkan penghargaan tertinggi. Sementara tenun
ikat Nusantara sebagai salah satu teknik struktural desain sudah di kenal di
benua Eropa sejak abad 19. Sebagaimana kita ketahui pada abad tersebut banyak
sekali komoditas perdagangan dari bumi Nusantara yang dibawa VOC ke negeri Belanda.
Dikenalnya produk kerajinan tenun ikat dari Nusantara waktu itu menyebabkan istilah “ikat” tercantum di dalam kamus Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris untuk
menyebutkan pengertian seperti diatas.
Teknik
tenun ikat lusi sudah dikenal sejak zaman kebudayaan Dongson (zaman Perunggu) yang pengaruhnya di Nusantara sekitar 1.000 SM hingga 1 SM. Tidak
heran bila hampir diseluruh wilayah tanah air kita dapati potensi budaya
tradisional dalam tenun ikat lusi.
Sekali
lagi, sarung salah satu bentuk busana bangsa Indonesia yang ragam bentuk, motif
serta cara mengenakannya amat beragam. Tetapi secara keseluruhan sarung
termasuk model busana yang sangat lekat dengan kehidupan orang Indonesia.
Seyogyanya kita tidak membatasi dan mengkotakkan apa yang disebut sarung bukan terbatas sebagai identitas bentuk busana untuk
aktifitas menjalankan ibadah salah satu agama tertentu saja. Karena jika kita mau membuka mata dan wawasan, sarung itu di gunakan oleh semua etnik yang tinggal di bumi Nusantara, tidak pandang agama dan rasnya. Tentu saja masing-masing memiliki teknik pembuatan, bentuk serta ragam hias yang berbeda, disamping memiliki nilai makna serta filosofi yang berlainan. Saya bahkan memiliki keyakinan, bahwa 90% keluarga Indonesia, dirumahnya menyimpan kain sarung, apapun motif, bentuk dan bahannya. Karena kita memiliki “sarung Indonesia” dalam kehidupan kita.
aktifitas menjalankan ibadah salah satu agama tertentu saja. Karena jika kita mau membuka mata dan wawasan, sarung itu di gunakan oleh semua etnik yang tinggal di bumi Nusantara, tidak pandang agama dan rasnya. Tentu saja masing-masing memiliki teknik pembuatan, bentuk serta ragam hias yang berbeda, disamping memiliki nilai makna serta filosofi yang berlainan. Saya bahkan memiliki keyakinan, bahwa 90% keluarga Indonesia, dirumahnya menyimpan kain sarung, apapun motif, bentuk dan bahannya. Karena kita memiliki “sarung Indonesia” dalam kehidupan kita.
Surabaya,
Maret 2015
Adi
Kusrianto
No comments:
Post a Comment