Thursday, April 23, 2015

Sarung Gajah Duduk Kreasi Indonesia


Sambutan Bp. Jamal Ghozi, owner PresDir Pisma Group, pada Buku Sarung Tenun Indonesia (Adi Kusrianto)


Sarung adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia secara umum.  Karena sarung merupakan salah satu ciri berbusana masyarakat kita. Selain itu, sarung dikenal luas sebagai busana khas umat Muslim Indonesia, sehingga ada istilah “kaum bersarung”. 
Dalam memanfaatkan sarung sebagai busana, berbagai kalangan masyarakat Indonesia telah menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu sehingga  saat ini sarung bukan hanya dikenakan kalangan santri pondok saja, tapi sarung sudah merupakan kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Bahkan karena keelokan coraknya sarung tenun telah menjadi salah satu pilihan bahan fashion berciri Indonesia. Kalangan muda kita sudah tidak malu-malu lagi menunjukkan ke-Indonesiaan-nya dengan menggunakan busana bercitra Indonesia.
Dengan membaca tulisan Adi Kusrianto ini, pembaca diharapkan menyadari bahwa sarung merupakan kekayaan budaya tenun yang luar biasa yang dimiliki negeri ini. Dari pelosok pulau yang bahkan namanyapun baru kita kenal, ternyata memiliki budaya menenun yang eksotis dan orisinil. Corak tenunan, motif-motif serta teknik menenun dan mewarnai bahan, merupakan kekayaan intektual yang perlu kita lin–dungi dan kita jaga.
Dalam kiprahnya di industri sarung nasional, PT. Pismatex yang saya pimpin berusaha menggali  potensi budaya tenun sarung yang selama ini hanya dikenal secara regional agar menjadi aset nasional yang membanggakan. Oleh karenanya saya memilih tag line “Kreasi Indonesia” pada produk Sarung Gajah Duduk, guna membangkitkan citra bahwa “Sarung adalah salah satu ciri budaya kita, Sarung Indonesia”. Spirit ini bukan hanya kita gaungkan di kalangan internal dalam negeri, namun usaha pemasaran yang kami lakukan secara berkelanjutan telah berhasil menanamkan “Gajah Duduk” sebagai produk yang diterima dan disukai di pasar dunia. Gajah Duduk dikenal sebagai salah satu wakil duta budaya dalam sarung tenun Indonesia di kancah pasar dunia.

                                                                                Wassalam,
                                                                                Jamal Ghozi


Melestasrikan Kreativitas dan Nilai Budaya Pada Kain Indonesia


Sambutan Direktur Akademik - Universitas Ciputra, pada buku Sarung Tenun Indonesia (Adi Kusrianto)


   Di Indonesia, keahlian dan kreativitas pada kain sangat menonjol dijumpai pada karya batik dan tenun. Yang pertama kecanggihan nya terletak pada teknik disain motif dan pewarnaan nya. Sedangkan pada tenun kecanggihan nya selain dua hal diatas adalah pada garapan kain nya itu sendiri. Perbedaan kecanggihan kedua karya kain tersebut membuat masing-masing memiliki kelompok peminat fanatiknya sendiri. Kesohoran kedua karya tekstil Indonesia tersebut sudah sangat diakui sampai keluar negeri. Saya tahu ada pembeli dari Jerman yang sepuluh tahun lalu menghargai sehelai kain Geringsing motif wayang seharga hampir seratus juta rupiah. Motif wayang pada karya double-ikat berarti tingkat kerumitan yang hampir tak terbayangkan. Kain tenun Indonesia juga banyak variasinya akibat kekayaan ragam budaya kita. Kain Lurik Jogja, Songket Sumatera, kain tenun Sumba, tenun Geringsing dari Tenganan, hanyalah sebagian kecil saja dari beragam kain tenun Indonesia yang ada.

Dari sisi produksinya, industri batik secara tradisi berada dan berkembang di Jawa. Sedangkan kerajinan tenun kita jumpai hampir di semua tempat di Indonesia de–ngan bahan, benang dan elemen yang sangat bervariasi pula.  Kita jumpai benang dari kapas, sutera alam, serat kayu, serat pisang, serat bamboo, dan di beberapa daerah kerang-kerang mungil dan benang logam dipadukan dalam sebuah pola disain yang sangat indah dan unik. Pewarnaan alam juga masih banyak dipakai – suatu hal yang mulai dihargai kembali dimasa kini. 

Saat ini batik sudah mendapat eksposure yang memadai, dan berkembang sampai hampir semua provinsi di Indonesia memiliki motif batik nya sendiri yang di dasarkan pada ke khas an motif dari kearifan setempat. Namun Tenun Indonesia yang sangat banyak variasinya itu masih sangat sedikit referensi tertulisnya.

Orang Indonesia memiliki rasa spiritualitas yang tinggi. Bisa dikata segala yang dilakukan nya, segala yang di ciptakan nya selalu memiliki makna, didasarkan atas konsep kehidupan dan estetika kontekstualnya.
Sehingga seringkali, motif, baik pada karya kain maupun lainnya, merupakan sebuah tetenger dari penemuan dan lesson-learned dari pengalaman kolektif tertentu yang menarik. Jadi motif merupakan sebuah cara komunikasi dan pelestarian nilai-nilai budaya.

Namun paling tidak ada dua hal yang mengancam karya dan nilai pada kain. Pertama adalah fakta bahwa budaya kita adalah budaya lisan. Ini yang seringkali menyebabkan makna dan konsep dibalik aspek tangible itu menjadi sirna-terlupakan jika passing-on secara lisan ini tidak baik atau terdistorsi oleh cerita-cerita lain dan baru yang mendominasi jaman sesudahnya. Yang kedua, kondisi alam tropis yang lembab dan banyak serangga pemakan elemen-elemen tekstil membuat tekstil Indonesia lawas hanya sangat sedikit yang tersisa.

Dua alasan diatas membuat buku seperti ini, yang bagaikan sebuah ensiklopedia sarung tenun, sangatlah dibutuhkan. Tradisi tertulis dalam buku  adalah salah satu pelestari budaya. Buku ini bisa dipakai untuk mendapatkan informasi secara umum, yang juga bisa mengantar ke penelitian akan informasi yang lebih mendalam tentang aspek tenun tertentu.

Adi Kusrianto adalah seorang yang memiliki pengalaman panjang pada karya tekstil, seorang pembaca buku dengan appetite yang luarbiasa dan detektif informasi yang gigih. Semangatnya yang luarbiasa dalam berbagi ilmu dan keahlian yang dimiliki, baik dengan cara mengajar maupun menulis buku secara sangat produktif itu sangat kami hormati. 

Kami dari Universitas Ciputra menyambut dengan gembira penerbitan buku tentang Sarung Tenun oleh Pak Adi Kusrianto. Kami berharap buku-buku karangannya tentang berbagai karya kain Indonesia secara lebih detail akan segera menyusul.

Yohannes Somawiharja






Sarung Tenun Indonesia, Pusaka Warisan Budaya Bangsa

Membahas tentang sarung tenun, ternyata akan membuka wawasan kita, bahwa kain sarung tidak terbatas pada konteks sebagaimana yang kita kenal sehari-hari yaitu sebagai busana khas yang biasa digunakan umat muslim Indonesia baik untuk sarana beribadah
di masjid maupun sebagai pakaian keseharian.

Bangsa Indonesia yang tersebar dari Sabang di ujung barat hingga Merauke diujung timur, baik pria maupun wanita sejak dahulu kala memiliki tradisi berbusana dengan memanfaatkan kain sebagai busana bawahan. Kain tersebut dibuat dengan bahan, teknik menenun dan motif-motif sesuai tradisi budaya setempat. Cara mengenakan kain tersebut sebagai busana bawahan itulah yang secara umum dapat disebut sebagai sarung. Jika di Jawa, orang mengenal bagaimana membedakan kain panjang sebagai sinjang (jarit) dengan sarung, maka di daerah lain di bumi Nusantara ini istilah sarung juga dikenal sebagai salah satu cara mengenakan kain bawahan baik untuk busana pria maupun wanita.

Kita, bangsa Indonesia boleh jadi tidak bisa mengklaim sarung sebagai budaya yang berasal dan menjadi milik bangsa Indonesia. Tetapi bangsa Indonesia memiliki sarung khas yang dapat kita klaim dan kita akui sebagai milik bangsa Indonesia, yakni apa yang dalam buku ini saya sebut sebagai “sarung Indonesia”. Masing-masing wilayah dalam NKRI memiliki ciri tersendiri dalam hal sarung tenun. Begitu beragamnya sehingga kita sendiri sering merasa tidak yakin, apakah produk budaya itu akan dapat kita sebut sebagai “Sarung Tenun Indonesia”? Mengapa tidak?

Sarung sebagai salah satu produk tekstil dihasilkan melalui proses menenun. Hebatnya Nusantara kita ini menyimpan berbagai macam budaya tenun yang serba eksotis. Pada tahun 1985 di Jakarta, ketika diselenggarakan International and National Craft Conference yang diikuti 12 negara, tenun ikat dari Pulau Sumba dipilih sebagai karya tenunan terbaik serta mendapatkan penghargaan tertinggi. Sementara tenun ikat Nusantara sebagai salah satu teknik struktural desain sudah di kenal di benua Eropa sejak abad 19. Sebagaimana kita ketahui pada abad tersebut banyak sekali komoditas perdagangan dari bumi Nusantara yang dibawa VOC ke negeri Belanda. Dikenalnya produk kerajinan tenun ikat dari Nusantara waktu itu menyebabkan istilah “ikat” tercantum di dalam kamus Bahasa Belanda dan Bahasa Inggris untuk menyebutkan pengertian seperti diatas.

Teknik tenun ikat lusi sudah dikenal sejak zaman kebudayaan Dongson (zaman Perunggu) yang pengaruhnya di Nusantara sekitar 1.000 SM hingga 1 SM. Tidak heran bila hampir diseluruh wilayah tanah air kita dapati potensi budaya tradisional dalam tenun ikat lusi.

Sekali lagi, sarung salah satu bentuk busana bangsa Indonesia yang ragam bentuk, motif serta cara mengenakannya amat beragam. Tetapi secara keseluruhan sarung termasuk model busana yang sangat lekat dengan kehidupan orang Indonesia. Seyogyanya kita tidak membatasi dan mengkotakkan apa yang disebut sarung bukan terbatas sebagai identitas bentuk busana untuk
aktifitas menjalankan ibadah salah satu agama tertentu saja. Karena jika kita mau membuka mata dan wawasan, sarung itu di gunakan oleh semua etnik yang tinggal di bumi Nusantara, tidak pandang agama dan rasnya. Tentu saja masing-masing memiliki teknik pembuatan, bentuk serta ragam hias yang berbeda, disamping memiliki nilai makna serta filosofi yang berlainan. Saya bahkan memiliki keyakinan, bahwa 90% keluarga Indonesia, dirumahnya menyimpan kain sarung, apapun motif, bentuk dan bahannya. Karena kita memiliki “sarung Indonesia” dalam kehidupan kita.

                                                                               
Surabaya, Maret 2015
Adi Kusrianto