Saturday, August 19, 2017

Mengenal Bahan Tekstil SCUBA KNIT DAN NEOPRANE SCUBA



disusun oleh: Adi Kusrianto
Kali ini saya ajak Anda mengenal salah satu bahan tekstil yang sedang nge-hit dalam dunia fashion.
Kain scuba (Scuba Knit alias kain rajut scuba), atau Neoprane, atau juga Ponte. Ketiga nama ini sering menjadi rancu karena memang memiliki banyak kemiripan.
Scuba Knit adalah kain yang dirancang sebagai pakaian olah raga. Berupa kain rajut ganda, yaitu kain yang dirajut menggunakan mesin rajut datar dan dalam bekerja mesin ini membentuk rajutan dua lapis yang disatukan. Oleh karenanya kain scuba memiliki karakteristik yang tebal tetapi empuk (soft). Dibanding dengan kain rajut satu layer, maka kain scuba elastisitasnya lebih terkontrol. Memiliki kemampuan melar secara horizontal maupun vertikal rata-rata hingga 40%. Lebar kain 58" inches dan bahannya 90% Polyester dan 10% spandex. Bahannya berupa benang filamen halus yang dirajut secara padat hingga membentuk kain rajut yang halus dan lembut. Tebalnya antara 1 hingga 3 mm. Jika ada yang ebih tebal itu Neoprane (memiliki lapisan dalam dari busa neoprane).
Kain Neoprene adalah busa (foam) dari karet sintetik yang bahannya dari polychloroprene. Dibentuk dengan proses pemanasan dan pengepressan. Dengan demikian Neoprane ini lebih tepat disebut bahan Non Woven Fabric. (lihat di buku saya Pengetahuan Bahan Tekstil maupun buku Textile jilid 2). Neoprane ini sering di produksi secara sandwich (seperti bred jem bred gitu), yaitu dibuat sebagai lapisan dengan bahan scuba knit. Ketebalan busa Neoprane terdiri dari 2mm, 3mm, 4mm, 5mm hingga ketebalan lain untuk pemakaian tertentu.
Ponte adalah kain rajut ganda mirip Scuba, tetapi terbuat dari serat filamen yang lebih tebal. Biasanya terbuat dari Polyester yang di kombinasikan dengan Rayon dan Licra (Spandex).
Secara keseluruan, Scuba Neoprane digunakan sebagai pakaian selam sejak tahun 1950an. Belakangan para fashion designer memanfaatkan juga untuk pakaian yang memerlukan tampilan dengan efek-efek khusus.



Sumber:
http://www.neucarol.com/is-it-neoprene-or-scuba-knit-should-i-care/

Wednesday, January 25, 2017

Batik Klasik di Ponorogo

Seni batik di Kabupaten Ponorogo memiliki riwayat yang cukup tua. Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang. Dari sini kemudian meluas ke desa-desa Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten, Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut.
Saat itu zat pewarna yang digunakan masih berupa pewarna alami yang berasal dari kayu-kayuan seperti pohon tom, akar mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan kain dasarnya ditenun menggunakan ATBM. Mori import baru dikenal kira-kira akhir abad ke-19 sehingga muncullah nama mori Primis dan Primissima yang merupakan istilah dalam perdagangan tekstil Eropa.

Munculnya Batik Cap di Ponorogo

Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia pertama. Awalnya teknik ini dibawa ke Ponorogo oleh seorang pengusaha Tionghoa bernama Kwee Seng dari Banyumas. Saat itu, sekitar awal abad ke 20, daerah Ponorogo terkenal batiknya menggunakan pewarna nila yang tidak luntur. Hal itu yang menyebabkan pengusaha-pengusaha batik dari Banyumas dan Solo yang kebanjiran order memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha batik cap di Ponorogo. Batik cap asal Ponorogo dikenal sebagai batik kasar berbahan mori biru dengan harga yang lebih murah. Hal ini yang membuat batik cap kasar Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.
Dalam batik tulis, para pembatik Ponorogo banyak mensupply kebutuhan batik dari pasar Jawa Tengah. Itulah sebabnya banyak pembatik didaerah ini menghasilkan motif-motif klasik Jawa Tengah yang banyak dipesan orang. Sebagai contoh, hingga saat ini motif Sekar jagad dengan sentuhan khas batik Ponorogo yang berorientasi ke selera Jawa Tengahan seperti warna hitam, coklat dan putih masih banyak dibuat. Hal baru yang muncul pada Sekar Jagad Ponorogo adalah warna biru muda misalnya. Ini yang membedakan dengan Sekar jagad klasik.

Monday, April 25, 2016

Kesalah pahaman Istilah Lokcan pada Batik Kita

Adi Kusrianto

Pada suatu hari minggu di tahun 1989, ketika saya dan istri bersepeda motor membonceng anak perempuan saya yang berusia dua setengah tahun. Saat itu kami melewati seorang laki-laki bercaping di sawah sedang menuntun seekor kerbau. Istri saya menunjukkan kepada anak saya: “lihat dik itu ada pak tani”.
Tujuh bulan berselang dari kejadian itu, kami sedang berada diluar kota dan melewati segerombolan kerbau sedang merumput. Kontan anak perempuan saya yang saat itu sudah berusia tiga tahun lebih berteriak kegirangan, “ lihat ada pak tani,… ada pak tani…”.
Ketika saya menoleh tidak mendapati seorangpun dekat kerbau-kerbau tadi.
Mana dik pak tani nya?
“Itu.". dengan tegas anak saya menunjuk kerbau-kerbau tadi.
O, saya membatin. Jadi ketika anak saya  tujuh bulan yang lalu ditunjukkan ibunya “lihat dik itu ada pak tani” yang terrekam dalam ingatannya adalah kerbau, bukan laki-laki bercaping yang dimaksud istri saya. Dari informasi pertama yang ia rekam dalam ingatannya saat itu adalah kerbau. Mungkin diluar sadar kami, ternyata itulah saat pertama kali anak saya melihat kerbau, sedangkan melihat bapak-bapak sekalipun memakai caping ia anggap tidak jauh beda dengan bapak-bapak lain yang pernah ia lihat.
Untung saya sebagai bapaknya segera membenarkan salah persepsi dari bocah tiga tahun terhadap apa yang dimaksud dengan pak tani. “Adik, itu namanya kerbau. Yang pak tani itu yang memakai topi lebar”. Sejak itu anak saya tahu yang mana pak tani dan mana kerbau.
Dua puluh tahun lebih dari kejadian itu, kami sedang melintas dekat pintu air Jagir, di Wonokromo. Saat itu bersama keluarga Mas Wiwid, seorang kerabat kami. Saat itu mengajak Bira, yang berumur 2 tahun. Kendaraan kami terhenti didepan palang pintu KA karena ada kereta api lewat.
Kami menunjukkan kepada Bira, “Lihat dik ada kereta api lewat”. Bira melihat kereta tersebut lewat didepan mobil yang kami tumpangi. Dua jam dari kejadian itu, ketika lewat di jalan Diponegoro, dekat pasar Kembang mobil kami di salip bis kota. Tiba-tiba Bira menunjuk-nunjuk bis kota tadi sambil berteriak :” Keta..keta..keta….”. Maksudnya dia menunjukkan bahwa yang lewat itu “kereta api” sebagaimana yang ia lihat di Jagir dua jam yang lalu.
Bundanya yang melihat kesalahpahan anaknya mentertawai sambil bilang “bukan Bir, itu bis, bukan kereta..”. Merasa dipatahkan pendapatnya, dan mungkin anak sekecil itu sudah punya rasa malu atau merasa gengsi, si Bira menangis sambil teriak “ bukan..keta..keta..”.
Kesalah pahaman ketika menerima informasi sering terjadi tidak hanya dialami anak-anak, tetapi siapapun ketika menerima informasi yang pertama kali mengenai sesuatu, dan informasi itu begitu melekat dan membentuk pemahamnnya.
Jika anak perempuan saya dan si Bira yang salah tangkap mengenai “kerbau” dan “kereta api” segera menerima koreksi pemahaman sehingga ia segera tahu bahwa yang ini namanya kerbau dan itu pak tani. Sedang bagi Bira setelah selesai menangis ia menjadi tahu mana kereta api dan mana bis kota.

Burung Hong dan Lokcan.
Pada periode tahun 1910an, di Juwana berkembang motif batik yang dibatik diatas sehelai kain sutra biru yang diimpor dari Tiongkok. Kain sutra biru itu dalam bahasa Inggris disebut “blue silk” sedang dalam bahasa Canton adalah “lok can” atau “lokcan”. Pembatik Juwana yang saat itu banyak menerima pesanan batik dari pelanggannya keturunan Cina, kebanyakan pelanggannya minta dibuatkan batik dengan ornamen-ornamen bentuk-bentuk motif dari Tiongkok. Diantaranya adalah bentuk burung Hong, yang dalam budaya Tiongkok merupakan mahluk yang memiliki kekuatan supranatural. Seperti halnya naga atau liong. Dari Juwana motif ini berkembang sampai ke Rembang, Pati, Lasem hingga Tuban dan Babat.
Karena dalam batik sutra biru tadi yang menonjol dan memiliki keunikan tersendiri adalah motif burung hong, maka masyarakat diluar keturunan Cina, maupun keturunan Cina di Jawa yang tidak paham bahasa Canton mengira istilah Lok can adalah gambar burung Hong itu. Hal ini baru disadari ketika memasuki tahun 1930 dunia sedang dilanda krisis ekonomi yang saat itu di istilahkan dengan “malaise”, maka impor kain sutra dari Tiongkok pun terhenti. Terlebih saat itu Indonesia dalam pendudukan bangsa Jepang. Hilanglah komoditi sutra biru alias lokcan dari pasaran. Namun anehnya, ketika para pembatik Tuban dan Lasem masih membuat batik bergambar burung hong, maka masyarakat masih tetap menyebut batik itu adalah Lokcan sekalipun dibatik diatas kain katun. Bahkan runyamnya mengira bahwa istilah lokcan adalah sebutan dari motif burung hong.

Selendang batik bikinan pembatik dari Babat, dekat Tuban, Jawa Timur.



Ornamen burung hong, yang diduga sebagai ornamen berama lokcan. Diperparah kebiasaan orang kita yang suka “otak atik matuk”, ada yang mengira asal katanya luk can.

Motif burung hong serupa pada batik Tuban, ternyata sudah ada pada batik Cirebon. Tapi orang Cirebon tidak menyebut sebagai lokcan.

Hikayat Motif Burung Hong pada Batik Jawa.

Pengaruh ornamen Tiongkok pada batik Jawa sudah terjadi lama pada daerah pembatikan Cirebon. Ornamen-ornamen Tiongkok awalnya di ilhami dari corak-corak yang terdapat pada guci Tiongkok yang di hadiahkan pada Sultan Cirebon, Syarif Hidayatulah. Motif Tiongkok yang terkenal hingga kini yang melekat pada batik Cirebon adalah Mega mendung, bentuk-bentuk swastika maupun burung hong yang distilasi dengan sayap atau bulu ekor yang berbentuk jeprik-jeprik. Uniknya, orang Cirebon tidak menyebut motif burung hong itu sebagai motif lokcan.
Jadi istilah lokcan adalah kesalah pahaman yang berlanjut hingga kini.




Wednesday, June 3, 2015

Mengenal Judi Knight Achyadi, sang Ahli Tekstil yang berbagi ilmunya lewat tulisan

Adi Kusrianto

Diantara para pengamat batik dan wastra prima Nusantara, yang menuliskan hasil survey dan pengamatannya kedalam buku, saya sangat respek pada karya tulis Judi Knight Achyadi. Tokoh ini telah menuliskan karya-karyanya dalam bahasa Inggris maupun Indonesia yang sangat akurat dan menjadi  referensi banyak orang yang membutuhkan pegangan dalam mempelajari Batik serta wastra prima Nusantara.
Saya berusaha mencari informasi tentang tokoh ini barangkali bisa belajar lebih banyak dari beliau. Namun tidak banyak yang tahu perihal penulis ini, hingga saya menemukan sebuah artikel yang ditulis oleh Mas Mulyawan Karim salah seorang editor senior Penerbit Buku Kompas.
Berikut ini artikel mengenai Judi Knight Achjadi :

Judi Achjadi dan Kain-kain Adati
Oleh : Mulyawan Karim

Helai-helai kain hinggi itu tak cuma dibentang, dipandang, dan diraba untuk dikaji ragam hias dan teknik pembuatannya. Untuk mengetahui jenis pewarna dan jumlah serat benangnya, kain-kain tenun Sumba itu pun diteropong dengan kaca pembesar. Sebagian bahkan dicium untuk mengidentifikasi jenis benang yang dipakai.

Begitulah antara lain yang dilakukan Judi Knight- Achjadi di hari-hari menjelang pameran kain tenun Sumba di Bentara Budaya Jakarta, yang rencananya akan diresmikan Jumat (7/4/2006) malam ini. Dalam kegiatan pemeran berjudul ”Heavenly Cloths of Sumba” itu, Judi (71) berperan sebagai kurator yang bertugas menyeleksi dan menulis keterangan bagi setiap helai kain yang akan dipertontonkan.

Menjadi kurator pameran kain tradisional Indonesia bukan pertama dilakukan Judi. Ia sudah pernah melakukannya untuk sejumlah pameran lain, termasuk pameran koleksi kain Wastraprema dalam rangka peringatan 25 tahun perhimpunan pencinta kain adati Indonesia itu di Museum Tekstil Jakarta, tahun 2001.

Tahun lalu, bersama kurator lain, ia juga ikut menyiapkan pameran tentang pengaruh China dalam busana dan tekstil tradisional Indonesia yang diselenggarakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di Museum Nasional.

Pada tahun 1999, perempuan berdarah Kanada ini bahkan dipercaya menjadi kurator Museum Tekstil Jakarta, yang memperoleh sebagian koleksi awalnya dari perkumpulan Wastraprema, yang antara lain dimotori oleh para kolektor kain terkemuka, seperti Jo Seda dan Herawati Diah.

Meski selalu menolak disebut ahli, keluasan dan kedalaman pengetahuan Judi soal kain adati Indonesia tak bisa diragukan. Ia bisa bicara panjang-lebar dan penuh semangat tentang kain dan busana adat dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari kain ulos Batak, baju kurung Minangkabau, songket Palembang, kain kebaya Jawa, sampai macam-macam kain tenun dari kawasan Indonesia timur, termasuk Sumba.

Buku

Di kalangan kolektor, peneliti, dan pencinta wastra (kain) tradisional Indonesia, nama Judi Achjadi tak asing lagi. Sudah puluhan tahun istri Achjadi, pensiunan diplomat Departemen Luar Negeri RI itu berkecimpung di dunia busana dan kain adati Nusantara.

Berkat ketekunannya meneliti dan membuat catatan, Judi sudah menghasilkan tak kurang dari 11 buku, baik yang sepenuhnya ditulis sendiri maupun yang digarap bersama para penulis lain. Hampir semua berbicara tentang kain dan busana tradisional Indonesia. Buku-bukunya, antara lain, Indonesia’s Arts & Crafts (1982), Batik: Spirit of Indonesia (1999), dan Butterflies and Phoenixes: Chinese Influence in Indonesia’s Textile Arts (2005).

Apa yang membuat Judi heran, tak banyak orang Indonesia yang berminat mempelajari dan menulis tentang kain adat dan busana tradisionalnya.

”Sejak saya menulis buku tentang busana tradisional perempuan Indonesia pada 1970-an, rasanya tak ada lagi orang lain yang melakukannya,” kata Judi menunjuk buku pertamanya, Traditional Indonesian Women’s Costumes, yang terbit pertama kali pada 1976. Menurut Judi, buku itu, yang sudah dua kali dicetak ulang, sampai kini masih digunakan sebagai buku pelajaran di beberapa sekolah di Kanada.

Judi, yang kelahiran Montreal tahun 1935, mengaku sejak kecil sudah senang pada berbagai kebudayaan tradisional. ”Saya mewarisi kesenangan ibu saya pada antropologi, arkeologi, dan sejarah,” kisahnya. Ia juga mengaku, saat remaja sempat bercita-cita menjadi seorang antropolog yang melakukan penelitian di negeri-negeri asing nan jauh.

Akan tetapi, Judi baru jatuh hati pada Indonesia, khususnya pada pakaian dan kain tradisionalnya, setelah ia mulai tinggal di Indonesia tahun 1958. Ketika itu ia mengikuti suami, Achjadi, seorang diplomat muda Indonesia di Kanada, yang menikahinya. Judi kemudian sempat mendampingi sang suami yang ditempatkan di berbagai negara, termasuk Vatikan.

Ingin berkebaya

Menurut Judi, ketika baru tinggal di Jakarta, sebagai perempuan muda ia ingin berpakaian seperti perempuan Indonesia umumnya. Ia pun mencoba memakai kain kebaya, yang waktu itu masih sangat umum dipakai. ”Tapi, mengenakan kebaya ternyata tak sesederhana yang saya bayangkan sebelumnya. Meski ada yang memuji, tapi ada pula yang menunjukkan kesalahan saya, dalam memilih dan cara memakai kain, misalnya,” kata Judi yang sudah jadi WNI sejak tahun 1959.

Judi, yang kini sudah jadi ibu tiga anak dan nenek lima cucu, mengatakan, pengalaman inilah yang membangkitkan minatnya mempelajari berbagai tradisi berbusana di Indonesia. Meski tak pernah belajar antropologi secara formal, sejak itu Judi mengaku rajin mengumpulkan informasi dan mencatat semua hal yang terkait dengan tradisi berbusana di berbagai daerah di Indonesia.

Ia juga secara khusus mendalami pengetahuan tentang berbagai kain tenun tradisional Nusantara. Ia kerap pergi ke berbagai daerah untuk menimba ilmu langsung dari para penenun di desa-desa.

Indonesia adalah negeri yang sangat kaya dengan tradisi kain tenun, katanya. Kain tenun dari setiap daerah memiliki keindahan tersendiri. Ia sangat menyayangkan banyak orang Indonesia yang tak lagi menghargai, apalagi memakainya.

Saat meneliti kain, Judi selalu menciumnya lebih dulu.

”Saya kebetulan alergi terhadap benang pintal tangan yang kasar. Dengan mencium sehelai kain saya bisa segera tahu jenis benang apa yang dipakai, benang pabrik atau benang yang dipintal dengan tangan,” katanya di sela-sela kesibukannya menyiapkan pameran di Bentara Budaya Jakarta.

Sumber : Kompas, Jumat, 7 April 2006


Monday, May 11, 2015

Batik Klasik (1)

Batik Klasik (1)

Adi Kusrianto

Sebelum mengenal Batik, raja-raja di Jawa menggunakan bahan busana dari kain impor yang diperoleh dari pedagang luar negeri (India dan China)[i]. Mereka tidak mensakralkan kain-kain impor tadi karena kain-kain tersebut tidak dibuat berdasarkan kemauan mereka. Atau setidaknya motif maupun proses pembuatannya tidak melibatkan mereka secara emosianal maupun menuangkan karsa mereka atas “isi” bahan busana itu.
Semenjak dikenalnya teknik membatik, yang dilakukan oleh para abdidalem, maka para raja memesankan apa yang menjadi “karsa” (selera, filsafat) itu ke dalam kain yang di disain itu. Dari proses itulah ter wakili idealisasi budaya raja atau kraton ke dalam motif batik. Dan semenjak itu pulalah kain batik mendapatkan cap sebagai busana aristokrat Jawa.
Corak-corak ornamen yang di bawa ke dalam motif kain batik sesungguhnya bukan ciptaan baru, melainkan memindahkan ornamen-onamen yang diambil dari seni ukir maupun seni sungging (seni lukis) yang telah ada sebelumnya. Ketika dibawake dalam corak batik, ornamen-ornamen tadi dibuat dengan lebih teliti, detil serta dengan sentuhan tangan kaum bangsawan kraton. Apa yang diistilahkan sebagai Batik Kraton, Batik Aristokrat, Batik Raja sesungguhnya adalah karya seni batik yang halus yang di lukis menggunakan goresan canting.
Sebagaimana seni yang lain pada jaman itu, para seniman, baik itu seniman yang menuangkan karyanya pada logam (keris, tombak, perhiasan) pada tembikar (perabot untuk rumah tangga keraton), kayu (ukir), kulit (wayang, mahkota, aksoseris ) hingga kain batik, seniman melakukan dengan (semacam) pressure yang datang dari dalam dirinya sendiri. “Tekanan” itu diantaranya berupa rasa hormat, ke seganan, kepatuhan yang sangat tinggi dihadapan raja. Merasa bahwa dirinya bukanlah apa-apa sedangkan raja adalah agung, tinggi, terhormat diatas segala-galanya (diluar konsep agama). Oleh karenanya pada diri seniman muncul suatu kekuatan atau spirit yang terjadi diluar kemampuan kehidupan normalnya. Oleh karenanya sebelum memulai karyanya para seniman sering melakukan ritual berpuasa yang bermacam-macam. Puasa pantang makan minum, puasa mutih (hanya makan nasi tanpa garam dan perasa lain), hingga puasa tidak berbicara (sebagai manifestasi dari konsentrasi yang dicurahkan pada proyek pekerjaan yang sedang dilakukan). Hasil dari produk budaya semacam itu adalah cerminan dari kehalusan budi dari kaum aristokrat. Anggapan bahwa raja berbudi halus, luhur, patut diteladani.
Bagi rakyat (diluar keluarga raja), seni batik kemudian dijadikan sebagai model budaya untuk mengagungkan rasa hormat kepada kaum aristokrat, sebagai simbol produk budaya yang prima, halus bahkan sebagai kultur “dewaraja”[ii]. Jika sebelumnya rakyat yang membuat batik sebagai perintang waktu, sebagai upaya pemenuhan kebutuhan sandang, kemudian bergeser pandangannya bahwa batik adalah produk budaya istana. Yang bagus adalah batik seperti yang dibuat untuk raja. Fungsinya tergeser dari kepentingan rakyat menjadi kepentingan raja, dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan raja. (Dharsono, 2007).




[i] Patola dan Chinz dari India, dan Sutra ber sulam dari China.

Thursday, April 23, 2015

Sarung Gajah Duduk Kreasi Indonesia


Sambutan Bp. Jamal Ghozi, owner PresDir Pisma Group, pada Buku Sarung Tenun Indonesia (Adi Kusrianto)


Sarung adalah sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia secara umum.  Karena sarung merupakan salah satu ciri berbusana masyarakat kita. Selain itu, sarung dikenal luas sebagai busana khas umat Muslim Indonesia, sehingga ada istilah “kaum bersarung”. 
Dalam memanfaatkan sarung sebagai busana, berbagai kalangan masyarakat Indonesia telah menunjukkan perubahan dari waktu ke waktu sehingga  saat ini sarung bukan hanya dikenakan kalangan santri pondok saja, tapi sarung sudah merupakan kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Bahkan karena keelokan coraknya sarung tenun telah menjadi salah satu pilihan bahan fashion berciri Indonesia. Kalangan muda kita sudah tidak malu-malu lagi menunjukkan ke-Indonesiaan-nya dengan menggunakan busana bercitra Indonesia.
Dengan membaca tulisan Adi Kusrianto ini, pembaca diharapkan menyadari bahwa sarung merupakan kekayaan budaya tenun yang luar biasa yang dimiliki negeri ini. Dari pelosok pulau yang bahkan namanyapun baru kita kenal, ternyata memiliki budaya menenun yang eksotis dan orisinil. Corak tenunan, motif-motif serta teknik menenun dan mewarnai bahan, merupakan kekayaan intektual yang perlu kita lin–dungi dan kita jaga.
Dalam kiprahnya di industri sarung nasional, PT. Pismatex yang saya pimpin berusaha menggali  potensi budaya tenun sarung yang selama ini hanya dikenal secara regional agar menjadi aset nasional yang membanggakan. Oleh karenanya saya memilih tag line “Kreasi Indonesia” pada produk Sarung Gajah Duduk, guna membangkitkan citra bahwa “Sarung adalah salah satu ciri budaya kita, Sarung Indonesia”. Spirit ini bukan hanya kita gaungkan di kalangan internal dalam negeri, namun usaha pemasaran yang kami lakukan secara berkelanjutan telah berhasil menanamkan “Gajah Duduk” sebagai produk yang diterima dan disukai di pasar dunia. Gajah Duduk dikenal sebagai salah satu wakil duta budaya dalam sarung tenun Indonesia di kancah pasar dunia.

                                                                                Wassalam,
                                                                                Jamal Ghozi


Melestasrikan Kreativitas dan Nilai Budaya Pada Kain Indonesia


Sambutan Direktur Akademik - Universitas Ciputra, pada buku Sarung Tenun Indonesia (Adi Kusrianto)


   Di Indonesia, keahlian dan kreativitas pada kain sangat menonjol dijumpai pada karya batik dan tenun. Yang pertama kecanggihan nya terletak pada teknik disain motif dan pewarnaan nya. Sedangkan pada tenun kecanggihan nya selain dua hal diatas adalah pada garapan kain nya itu sendiri. Perbedaan kecanggihan kedua karya kain tersebut membuat masing-masing memiliki kelompok peminat fanatiknya sendiri. Kesohoran kedua karya tekstil Indonesia tersebut sudah sangat diakui sampai keluar negeri. Saya tahu ada pembeli dari Jerman yang sepuluh tahun lalu menghargai sehelai kain Geringsing motif wayang seharga hampir seratus juta rupiah. Motif wayang pada karya double-ikat berarti tingkat kerumitan yang hampir tak terbayangkan. Kain tenun Indonesia juga banyak variasinya akibat kekayaan ragam budaya kita. Kain Lurik Jogja, Songket Sumatera, kain tenun Sumba, tenun Geringsing dari Tenganan, hanyalah sebagian kecil saja dari beragam kain tenun Indonesia yang ada.

Dari sisi produksinya, industri batik secara tradisi berada dan berkembang di Jawa. Sedangkan kerajinan tenun kita jumpai hampir di semua tempat di Indonesia de–ngan bahan, benang dan elemen yang sangat bervariasi pula.  Kita jumpai benang dari kapas, sutera alam, serat kayu, serat pisang, serat bamboo, dan di beberapa daerah kerang-kerang mungil dan benang logam dipadukan dalam sebuah pola disain yang sangat indah dan unik. Pewarnaan alam juga masih banyak dipakai – suatu hal yang mulai dihargai kembali dimasa kini. 

Saat ini batik sudah mendapat eksposure yang memadai, dan berkembang sampai hampir semua provinsi di Indonesia memiliki motif batik nya sendiri yang di dasarkan pada ke khas an motif dari kearifan setempat. Namun Tenun Indonesia yang sangat banyak variasinya itu masih sangat sedikit referensi tertulisnya.

Orang Indonesia memiliki rasa spiritualitas yang tinggi. Bisa dikata segala yang dilakukan nya, segala yang di ciptakan nya selalu memiliki makna, didasarkan atas konsep kehidupan dan estetika kontekstualnya.
Sehingga seringkali, motif, baik pada karya kain maupun lainnya, merupakan sebuah tetenger dari penemuan dan lesson-learned dari pengalaman kolektif tertentu yang menarik. Jadi motif merupakan sebuah cara komunikasi dan pelestarian nilai-nilai budaya.

Namun paling tidak ada dua hal yang mengancam karya dan nilai pada kain. Pertama adalah fakta bahwa budaya kita adalah budaya lisan. Ini yang seringkali menyebabkan makna dan konsep dibalik aspek tangible itu menjadi sirna-terlupakan jika passing-on secara lisan ini tidak baik atau terdistorsi oleh cerita-cerita lain dan baru yang mendominasi jaman sesudahnya. Yang kedua, kondisi alam tropis yang lembab dan banyak serangga pemakan elemen-elemen tekstil membuat tekstil Indonesia lawas hanya sangat sedikit yang tersisa.

Dua alasan diatas membuat buku seperti ini, yang bagaikan sebuah ensiklopedia sarung tenun, sangatlah dibutuhkan. Tradisi tertulis dalam buku  adalah salah satu pelestari budaya. Buku ini bisa dipakai untuk mendapatkan informasi secara umum, yang juga bisa mengantar ke penelitian akan informasi yang lebih mendalam tentang aspek tenun tertentu.

Adi Kusrianto adalah seorang yang memiliki pengalaman panjang pada karya tekstil, seorang pembaca buku dengan appetite yang luarbiasa dan detektif informasi yang gigih. Semangatnya yang luarbiasa dalam berbagi ilmu dan keahlian yang dimiliki, baik dengan cara mengajar maupun menulis buku secara sangat produktif itu sangat kami hormati. 

Kami dari Universitas Ciputra menyambut dengan gembira penerbitan buku tentang Sarung Tenun oleh Pak Adi Kusrianto. Kami berharap buku-buku karangannya tentang berbagai karya kain Indonesia secara lebih detail akan segera menyusul.

Yohannes Somawiharja