Adi Kusrianto
Pada suatu hari minggu di tahun 1989, ketika saya dan istri
bersepeda motor membonceng anak perempuan saya yang berusia dua setengah tahun.
Saat itu kami melewati seorang laki-laki bercaping di sawah sedang menuntun
seekor kerbau. Istri saya menunjukkan kepada anak saya: “lihat dik itu ada pak
tani”.
Tujuh bulan berselang dari kejadian itu, kami sedang berada
diluar kota dan melewati segerombolan kerbau sedang merumput. Kontan anak
perempuan saya yang saat itu sudah berusia tiga tahun lebih berteriak
kegirangan, “ lihat ada pak tani,… ada pak tani…”.
Ketika saya menoleh tidak mendapati seorangpun dekat
kerbau-kerbau tadi.
“Mana dik pak tani nya?”
“Itu.". dengan tegas anak saya menunjuk kerbau-kerbau tadi.
O, saya membatin. Jadi ketika anak saya tujuh bulan yang lalu ditunjukkan ibunya “lihat
dik itu ada pak tani” yang terrekam dalam ingatannya adalah kerbau, bukan
laki-laki bercaping yang dimaksud istri saya. Dari informasi pertama yang ia rekam
dalam ingatannya saat itu adalah kerbau. Mungkin diluar sadar kami, ternyata
itulah saat pertama kali anak saya melihat kerbau, sedangkan melihat
bapak-bapak sekalipun memakai caping ia anggap tidak jauh beda dengan
bapak-bapak lain yang pernah ia lihat.
Untung saya sebagai bapaknya segera membenarkan salah
persepsi dari bocah tiga tahun terhadap apa yang dimaksud dengan pak tani. “Adik,
itu namanya kerbau. Yang pak tani itu yang memakai topi lebar”. Sejak itu anak
saya tahu yang mana pak tani dan mana kerbau.
Dua puluh tahun lebih dari kejadian itu, kami sedang
melintas dekat pintu air Jagir, di Wonokromo. Saat itu bersama keluarga Mas
Wiwid, seorang kerabat kami. Saat itu mengajak Bira, yang berumur 2 tahun. Kendaraan kami
terhenti didepan palang pintu KA karena ada kereta api lewat.
Kami menunjukkan kepada Bira, “Lihat dik ada kereta api
lewat”. Bira melihat kereta tersebut lewat didepan mobil yang kami tumpangi.
Dua jam dari kejadian itu, ketika lewat di jalan Diponegoro, dekat pasar
Kembang mobil kami di salip bis kota. Tiba-tiba Bira menunjuk-nunjuk bis kota
tadi sambil berteriak :” Keta..keta..keta….”. Maksudnya dia menunjukkan bahwa
yang lewat itu “kereta api” sebagaimana yang ia lihat di Jagir dua jam yang
lalu.
Bundanya yang melihat kesalahpahan anaknya mentertawai sambil
bilang “bukan Bir, itu bis, bukan kereta..”. Merasa dipatahkan pendapatnya, dan
mungkin anak sekecil itu sudah punya rasa malu atau merasa gengsi, si Bira
menangis sambil teriak “ bukan..keta..keta..”.
Kesalah pahaman ketika menerima informasi sering terjadi
tidak hanya dialami anak-anak, tetapi siapapun ketika menerima informasi yang
pertama kali mengenai sesuatu, dan informasi itu begitu melekat dan membentuk
pemahamnnya.
Jika anak perempuan saya dan si Bira yang salah tangkap mengenai
“kerbau” dan “kereta api” segera menerima koreksi pemahaman sehingga ia segera
tahu bahwa yang ini namanya kerbau dan itu pak tani. Sedang bagi Bira setelah
selesai menangis ia menjadi tahu mana kereta api dan mana bis kota.
Burung Hong dan Lokcan.
Pada periode tahun 1910an, di Juwana berkembang motif batik
yang dibatik diatas sehelai kain sutra biru yang diimpor dari Tiongkok. Kain
sutra biru itu dalam bahasa Inggris disebut “blue silk” sedang dalam bahasa
Canton adalah “lok can” atau “lokcan”. Pembatik Juwana yang saat itu banyak
menerima pesanan batik dari pelanggannya keturunan Cina, kebanyakan
pelanggannya minta dibuatkan batik dengan ornamen-ornamen bentuk-bentuk motif
dari Tiongkok. Diantaranya adalah bentuk burung Hong, yang dalam budaya
Tiongkok merupakan mahluk yang memiliki kekuatan supranatural. Seperti halnya
naga atau liong. Dari Juwana motif ini berkembang sampai ke Rembang, Pati,
Lasem hingga Tuban dan Babat.
Karena dalam batik sutra biru tadi yang menonjol dan
memiliki keunikan tersendiri adalah motif burung hong, maka masyarakat diluar
keturunan Cina, maupun keturunan Cina di Jawa yang tidak paham bahasa Canton mengira istilah Lok can adalah gambar burung Hong itu. Hal ini baru disadari
ketika memasuki tahun 1930 dunia sedang dilanda krisis ekonomi yang saat itu di
istilahkan dengan “malaise”, maka impor kain sutra dari Tiongkok pun terhenti.
Terlebih saat itu Indonesia dalam pendudukan bangsa Jepang. Hilanglah komoditi
sutra biru alias lokcan dari pasaran. Namun anehnya, ketika para pembatik Tuban
dan Lasem masih membuat batik bergambar burung hong, maka masyarakat masih
tetap menyebut batik itu adalah Lokcan sekalipun dibatik diatas kain katun.
Bahkan runyamnya mengira bahwa istilah lokcan adalah sebutan dari motif burung
hong.
Selendang batik bikinan pembatik dari Babat, dekat Tuban,
Jawa Timur.
Ornamen burung hong, yang diduga sebagai ornamen berama lokcan.
Diperparah kebiasaan orang kita yang suka “otak atik matuk”, ada yang mengira
asal katanya luk can.
Motif burung hong serupa pada batik Tuban, ternyata sudah
ada pada batik Cirebon. Tapi orang Cirebon tidak menyebut sebagai lokcan.
Hikayat Motif Burung Hong pada Batik Jawa.
Pengaruh ornamen Tiongkok pada batik Jawa sudah terjadi lama
pada daerah pembatikan Cirebon. Ornamen-ornamen Tiongkok awalnya di ilhami dari
corak-corak yang terdapat pada guci Tiongkok yang di hadiahkan pada Sultan
Cirebon, Syarif Hidayatulah. Motif Tiongkok yang terkenal hingga kini yang
melekat pada batik Cirebon adalah Mega mendung, bentuk-bentuk swastika maupun
burung hong yang distilasi dengan sayap atau bulu ekor yang berbentuk
jeprik-jeprik. Uniknya, orang Cirebon tidak menyebut motif burung hong itu
sebagai motif lokcan.
Jadi istilah lokcan adalah kesalah pahaman yang berlanjut
hingga kini.