Monday, April 25, 2016

Kesalah pahaman Istilah Lokcan pada Batik Kita

Adi Kusrianto

Pada suatu hari minggu di tahun 1989, ketika saya dan istri bersepeda motor membonceng anak perempuan saya yang berusia dua setengah tahun. Saat itu kami melewati seorang laki-laki bercaping di sawah sedang menuntun seekor kerbau. Istri saya menunjukkan kepada anak saya: “lihat dik itu ada pak tani”.
Tujuh bulan berselang dari kejadian itu, kami sedang berada diluar kota dan melewati segerombolan kerbau sedang merumput. Kontan anak perempuan saya yang saat itu sudah berusia tiga tahun lebih berteriak kegirangan, “ lihat ada pak tani,… ada pak tani…”.
Ketika saya menoleh tidak mendapati seorangpun dekat kerbau-kerbau tadi.
Mana dik pak tani nya?
“Itu.". dengan tegas anak saya menunjuk kerbau-kerbau tadi.
O, saya membatin. Jadi ketika anak saya  tujuh bulan yang lalu ditunjukkan ibunya “lihat dik itu ada pak tani” yang terrekam dalam ingatannya adalah kerbau, bukan laki-laki bercaping yang dimaksud istri saya. Dari informasi pertama yang ia rekam dalam ingatannya saat itu adalah kerbau. Mungkin diluar sadar kami, ternyata itulah saat pertama kali anak saya melihat kerbau, sedangkan melihat bapak-bapak sekalipun memakai caping ia anggap tidak jauh beda dengan bapak-bapak lain yang pernah ia lihat.
Untung saya sebagai bapaknya segera membenarkan salah persepsi dari bocah tiga tahun terhadap apa yang dimaksud dengan pak tani. “Adik, itu namanya kerbau. Yang pak tani itu yang memakai topi lebar”. Sejak itu anak saya tahu yang mana pak tani dan mana kerbau.
Dua puluh tahun lebih dari kejadian itu, kami sedang melintas dekat pintu air Jagir, di Wonokromo. Saat itu bersama keluarga Mas Wiwid, seorang kerabat kami. Saat itu mengajak Bira, yang berumur 2 tahun. Kendaraan kami terhenti didepan palang pintu KA karena ada kereta api lewat.
Kami menunjukkan kepada Bira, “Lihat dik ada kereta api lewat”. Bira melihat kereta tersebut lewat didepan mobil yang kami tumpangi. Dua jam dari kejadian itu, ketika lewat di jalan Diponegoro, dekat pasar Kembang mobil kami di salip bis kota. Tiba-tiba Bira menunjuk-nunjuk bis kota tadi sambil berteriak :” Keta..keta..keta….”. Maksudnya dia menunjukkan bahwa yang lewat itu “kereta api” sebagaimana yang ia lihat di Jagir dua jam yang lalu.
Bundanya yang melihat kesalahpahan anaknya mentertawai sambil bilang “bukan Bir, itu bis, bukan kereta..”. Merasa dipatahkan pendapatnya, dan mungkin anak sekecil itu sudah punya rasa malu atau merasa gengsi, si Bira menangis sambil teriak “ bukan..keta..keta..”.
Kesalah pahaman ketika menerima informasi sering terjadi tidak hanya dialami anak-anak, tetapi siapapun ketika menerima informasi yang pertama kali mengenai sesuatu, dan informasi itu begitu melekat dan membentuk pemahamnnya.
Jika anak perempuan saya dan si Bira yang salah tangkap mengenai “kerbau” dan “kereta api” segera menerima koreksi pemahaman sehingga ia segera tahu bahwa yang ini namanya kerbau dan itu pak tani. Sedang bagi Bira setelah selesai menangis ia menjadi tahu mana kereta api dan mana bis kota.

Burung Hong dan Lokcan.
Pada periode tahun 1910an, di Juwana berkembang motif batik yang dibatik diatas sehelai kain sutra biru yang diimpor dari Tiongkok. Kain sutra biru itu dalam bahasa Inggris disebut “blue silk” sedang dalam bahasa Canton adalah “lok can” atau “lokcan”. Pembatik Juwana yang saat itu banyak menerima pesanan batik dari pelanggannya keturunan Cina, kebanyakan pelanggannya minta dibuatkan batik dengan ornamen-ornamen bentuk-bentuk motif dari Tiongkok. Diantaranya adalah bentuk burung Hong, yang dalam budaya Tiongkok merupakan mahluk yang memiliki kekuatan supranatural. Seperti halnya naga atau liong. Dari Juwana motif ini berkembang sampai ke Rembang, Pati, Lasem hingga Tuban dan Babat.
Karena dalam batik sutra biru tadi yang menonjol dan memiliki keunikan tersendiri adalah motif burung hong, maka masyarakat diluar keturunan Cina, maupun keturunan Cina di Jawa yang tidak paham bahasa Canton mengira istilah Lok can adalah gambar burung Hong itu. Hal ini baru disadari ketika memasuki tahun 1930 dunia sedang dilanda krisis ekonomi yang saat itu di istilahkan dengan “malaise”, maka impor kain sutra dari Tiongkok pun terhenti. Terlebih saat itu Indonesia dalam pendudukan bangsa Jepang. Hilanglah komoditi sutra biru alias lokcan dari pasaran. Namun anehnya, ketika para pembatik Tuban dan Lasem masih membuat batik bergambar burung hong, maka masyarakat masih tetap menyebut batik itu adalah Lokcan sekalipun dibatik diatas kain katun. Bahkan runyamnya mengira bahwa istilah lokcan adalah sebutan dari motif burung hong.

Selendang batik bikinan pembatik dari Babat, dekat Tuban, Jawa Timur.



Ornamen burung hong, yang diduga sebagai ornamen berama lokcan. Diperparah kebiasaan orang kita yang suka “otak atik matuk”, ada yang mengira asal katanya luk can.

Motif burung hong serupa pada batik Tuban, ternyata sudah ada pada batik Cirebon. Tapi orang Cirebon tidak menyebut sebagai lokcan.

Hikayat Motif Burung Hong pada Batik Jawa.

Pengaruh ornamen Tiongkok pada batik Jawa sudah terjadi lama pada daerah pembatikan Cirebon. Ornamen-ornamen Tiongkok awalnya di ilhami dari corak-corak yang terdapat pada guci Tiongkok yang di hadiahkan pada Sultan Cirebon, Syarif Hidayatulah. Motif Tiongkok yang terkenal hingga kini yang melekat pada batik Cirebon adalah Mega mendung, bentuk-bentuk swastika maupun burung hong yang distilasi dengan sayap atau bulu ekor yang berbentuk jeprik-jeprik. Uniknya, orang Cirebon tidak menyebut motif burung hong itu sebagai motif lokcan.
Jadi istilah lokcan adalah kesalah pahaman yang berlanjut hingga kini.