Monday, May 11, 2015

Batik Klasik (1)

Batik Klasik (1)

Adi Kusrianto

Sebelum mengenal Batik, raja-raja di Jawa menggunakan bahan busana dari kain impor yang diperoleh dari pedagang luar negeri (India dan China)[i]. Mereka tidak mensakralkan kain-kain impor tadi karena kain-kain tersebut tidak dibuat berdasarkan kemauan mereka. Atau setidaknya motif maupun proses pembuatannya tidak melibatkan mereka secara emosianal maupun menuangkan karsa mereka atas “isi” bahan busana itu.
Semenjak dikenalnya teknik membatik, yang dilakukan oleh para abdidalem, maka para raja memesankan apa yang menjadi “karsa” (selera, filsafat) itu ke dalam kain yang di disain itu. Dari proses itulah ter wakili idealisasi budaya raja atau kraton ke dalam motif batik. Dan semenjak itu pulalah kain batik mendapatkan cap sebagai busana aristokrat Jawa.
Corak-corak ornamen yang di bawa ke dalam motif kain batik sesungguhnya bukan ciptaan baru, melainkan memindahkan ornamen-onamen yang diambil dari seni ukir maupun seni sungging (seni lukis) yang telah ada sebelumnya. Ketika dibawake dalam corak batik, ornamen-ornamen tadi dibuat dengan lebih teliti, detil serta dengan sentuhan tangan kaum bangsawan kraton. Apa yang diistilahkan sebagai Batik Kraton, Batik Aristokrat, Batik Raja sesungguhnya adalah karya seni batik yang halus yang di lukis menggunakan goresan canting.
Sebagaimana seni yang lain pada jaman itu, para seniman, baik itu seniman yang menuangkan karyanya pada logam (keris, tombak, perhiasan) pada tembikar (perabot untuk rumah tangga keraton), kayu (ukir), kulit (wayang, mahkota, aksoseris ) hingga kain batik, seniman melakukan dengan (semacam) pressure yang datang dari dalam dirinya sendiri. “Tekanan” itu diantaranya berupa rasa hormat, ke seganan, kepatuhan yang sangat tinggi dihadapan raja. Merasa bahwa dirinya bukanlah apa-apa sedangkan raja adalah agung, tinggi, terhormat diatas segala-galanya (diluar konsep agama). Oleh karenanya pada diri seniman muncul suatu kekuatan atau spirit yang terjadi diluar kemampuan kehidupan normalnya. Oleh karenanya sebelum memulai karyanya para seniman sering melakukan ritual berpuasa yang bermacam-macam. Puasa pantang makan minum, puasa mutih (hanya makan nasi tanpa garam dan perasa lain), hingga puasa tidak berbicara (sebagai manifestasi dari konsentrasi yang dicurahkan pada proyek pekerjaan yang sedang dilakukan). Hasil dari produk budaya semacam itu adalah cerminan dari kehalusan budi dari kaum aristokrat. Anggapan bahwa raja berbudi halus, luhur, patut diteladani.
Bagi rakyat (diluar keluarga raja), seni batik kemudian dijadikan sebagai model budaya untuk mengagungkan rasa hormat kepada kaum aristokrat, sebagai simbol produk budaya yang prima, halus bahkan sebagai kultur “dewaraja”[ii]. Jika sebelumnya rakyat yang membuat batik sebagai perintang waktu, sebagai upaya pemenuhan kebutuhan sandang, kemudian bergeser pandangannya bahwa batik adalah produk budaya istana. Yang bagus adalah batik seperti yang dibuat untuk raja. Fungsinya tergeser dari kepentingan rakyat menjadi kepentingan raja, dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan raja. (Dharsono, 2007).




[i] Patola dan Chinz dari India, dan Sutra ber sulam dari China.