Batik Klasik (1)
Adi Kusrianto
Sebelum mengenal Batik, raja-raja di Jawa
menggunakan bahan busana dari kain impor yang diperoleh dari pedagang luar
negeri (India dan China)[i].
Mereka tidak mensakralkan kain-kain impor tadi karena kain-kain tersebut tidak
dibuat berdasarkan kemauan mereka. Atau setidaknya motif maupun proses
pembuatannya tidak melibatkan mereka secara emosianal maupun menuangkan karsa
mereka atas “isi” bahan busana itu.
Semenjak dikenalnya teknik membatik, yang
dilakukan oleh para abdidalem, maka para raja memesankan apa yang menjadi
“karsa” (selera, filsafat) itu ke dalam kain yang di disain itu. Dari proses
itulah ter wakili idealisasi budaya raja atau kraton ke dalam motif batik. Dan
semenjak itu pulalah kain batik mendapatkan cap sebagai busana aristokrat Jawa.
Corak-corak ornamen yang di bawa ke dalam
motif kain batik sesungguhnya bukan ciptaan baru, melainkan memindahkan ornamen-onamen
yang diambil dari seni ukir maupun seni sungging (seni lukis) yang telah ada
sebelumnya. Ketika dibawake dalam corak batik, ornamen-ornamen tadi dibuat
dengan lebih teliti, detil serta dengan sentuhan tangan kaum bangsawan kraton.
Apa yang diistilahkan sebagai Batik Kraton, Batik Aristokrat, Batik Raja
sesungguhnya adalah karya seni batik yang halus yang di lukis menggunakan
goresan canting.
Sebagaimana seni yang lain pada jaman itu,
para seniman, baik itu seniman yang menuangkan karyanya pada logam (keris,
tombak, perhiasan) pada tembikar (perabot untuk rumah tangga keraton), kayu
(ukir), kulit (wayang, mahkota, aksoseris ) hingga kain batik, seniman
melakukan dengan (semacam) pressure yang datang dari dalam dirinya sendiri.
“Tekanan” itu diantaranya berupa rasa hormat, ke seganan, kepatuhan yang sangat
tinggi dihadapan raja. Merasa bahwa dirinya bukanlah apa-apa sedangkan raja
adalah agung, tinggi, terhormat diatas segala-galanya (diluar konsep agama).
Oleh karenanya pada diri seniman muncul suatu kekuatan atau spirit yang terjadi
diluar kemampuan kehidupan normalnya. Oleh karenanya sebelum memulai karyanya
para seniman sering melakukan ritual berpuasa yang bermacam-macam. Puasa
pantang makan minum, puasa mutih (hanya makan nasi tanpa garam dan perasa
lain), hingga puasa tidak berbicara (sebagai manifestasi dari konsentrasi yang
dicurahkan pada proyek pekerjaan yang sedang dilakukan). Hasil dari produk
budaya semacam itu adalah cerminan dari kehalusan budi dari kaum aristokrat.
Anggapan bahwa raja berbudi halus, luhur, patut diteladani.
Bagi rakyat (diluar keluarga raja), seni
batik kemudian dijadikan sebagai model budaya untuk mengagungkan rasa hormat
kepada kaum aristokrat, sebagai simbol produk budaya yang prima, halus bahkan
sebagai kultur “dewaraja”[ii].
Jika sebelumnya rakyat yang membuat batik sebagai perintang waktu, sebagai
upaya pemenuhan kebutuhan sandang, kemudian bergeser pandangannya bahwa batik
adalah produk budaya istana. Yang bagus adalah batik seperti yang dibuat untuk
raja. Fungsinya tergeser dari kepentingan rakyat menjadi kepentingan raja,
dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan raja. (Dharsono, 2007) .